🎄 Hakikat Jodoh Menurut Tasawuf

SyekhBahauddin Naqshaband, Mahaguru Pembaru Tasawuf. Rabu 12 Aug 2009 20:01 WIB. Red: 0. Sejak kecil sudah menunjukkan dirinya sebagai orang yang cerdas dan berilmu tinggi. Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Muhammad ibn Muhammad Al-Husayni Al-Uwaysi Al-Bukhari. Ia lahir di Qasrel Arifan, sebuah desa di kawasan Bukhara, Asia Tengah, pada TasawufAkhlak; AL-HIKAM Hakikat Doa bagi Para Wali Allah menurut Ibnu Athaillah Senin, 25 Desember 2017 | 13:05 WIB (via patheos.com) (via patheos.com) Bagikan: Ketika menghadapi suatu masalah atau memiliki hajat tertentu, kita melakukan ikhtiar-ikhtiar manusiawi termasuk salah satunya adalah berdoa kepada Allah SWT. Celakanya kita menganggap KaryaBaru Fiqih Transaksi dan Investasi dalam Seri Studi Fiqih Ijtihadi. 20 Juni 2020. Imam Khomeini: Perjalanan dari Nol Menuju Nol. 5 Juni 2020. View All. Tafsir Quran; Fiqih-Ushul Fiqih; Hadis; Tasawuf; Akhlak; Filsafat; Kalam; Interdisiplin; Peradaban. Alih-alih Merasa Dihina Soroush, Faqih Sufi Ternama Iran ini malah Minta Doa. Sat 2009-12-22 14:29 —. fikri farihin STAIN-QOD. semester 6. atau hubungi. fach_okay@yahoo.com. informasi lebih tentan tasawuf, klik disini. Definisi tasawuf ialah "membersihkan hati dan anggota-anggota lahir daripada dosa-dosa, kesalahan dan kesilapan". Artinya bersih luar dan bersih di dalam. Bersih di dalam: Maksudnya membersihkan hati Abstract This article aims to elaborate on Sufism reform movement in Indonesia. There former of Islam in Indonesia realize that Sufism is an integral part of Islam, therefore they are not hostile to Sufism, but tends to purify the Sufism of deviant Halinilah yang pada akhirnya mengundang pendapat pro dan kontra terhadap ajaran tasawuf dalam karya tulisnya Al-Durr al-Nafis tersebut. terkendali terus-menerus kepada suatu rangkaian dari tingkatan-tingkatan (maqamat) untuk dapat merasakan hakikat yang sebenarnya.7 Menurut keyakinan sufi, seseorang tidak akan sampai kepada hakikat tujuan ShahNaqshaband diberi gelar Bahauddin karena berhasil menonjolkan sikap beragama yang lurus, tetapi tidak kering. Kemudian, sikap beragama yang benar, tetapi penuh penghayatan yang indah. Pada masanya, tradisi keagamaan Islam di Asia Tengah berada di bawah bimbingan para guru besar sufi yang dikenal sebagai khwajakan (bentuk plural dari 2 menurut al - junaidi "tasawuf membersihkan hati dari apa yang mengganggu perasaan kebanyakan makhluk, berjuang menanggalkan pengaruh budi yang asal (instink) kita, memadamkan sifat - sifat kelemahan kita sebagai manusia, menjauhi segala seruan dari hawa nafsu, mendekatti sifat - sifat kerohanian, dan bergantung pada ilmu hakikat, memakai KitabAl-Hikam adalah buah karya Syekh Ibnu Atha'illah, mursyid ketiga dari Thariqah Syadziliyah. Adapun pendiri pertama Syadziliyah adalah Syekh Abu Hasan Ali Asy-Syadzili, seorang Maroko yang kemudian menetap di Iskandariah, Mesir dan wafat pada 1258 M. Penggantinya adalah Syekh Abu Abbas Al-Mursi, yang berasal dari Murcia, Andalusia, Spanyol (wafat di tahun 1287 M), yang sepeninggalnya aQm0. The modern era which is now stepping on the industrial revolution era has caused the human condition to change rapidly, they are “tempted” by technological sophistication so that they slowly forget and leave religion God which ultimately leads to social and spiritual problems in the midst of society in addition to moral problems that cannot be solved with any technological sophistication. The focus of this research is to analyze and find a solution to solve this problem through the concept of humanistic Sufism which was initiated by Said Aqil Siradj and Muh Amin Syukur. The findings produced are that humanistic Sufism Said Aqil and Amin Syukur are Sufism that teaches humans to be active in social life, pro-active to social problems, politics, economics, nationality, please help, tolerance, as well as to draw closer to God continuously. Humanistic Sufism also teaches to synergize between the world-hereafter, the soul-body, innersoul, God-creature, social-individual, Sharia-nature. It is this moderate attitude which seeks to develop humanistic Sufism which later leads to the formation of social piety and spiritual piety that very relevant to the life of post modern people who are currently experiencing a social and spiritual crisis. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Jurnal Kajian Agama dan FilsafatVolume 19, Nomor 1, April 2020 EDITOR-IN-CHIEF Abdul Hakim Wahid EDITORIAL BOARD Yusuf Rahman Kusmana Lilik Ummi Kaltsum Media Zainul Bahri Kautsar Azhari Noer Rd. Mulyadhi Kartanegara Muhammad Amin Nurdin Ismatu Ropi Rifqi Muhammad Fatkhi EDITORS Agus Darmaji Edwin Syarif Nanang Tahqiq Eva Nugraha Dadi Darmadi Syaiful Azmi ASSISTANT TO THE EDITORS M. Najib Tsauri Editorial Office Faculty of Ushuluddin Building - 2nd Floor R. Jurnal - Jl. Ir. Juanda No. 95 Ciputat Jakarta Phone/fax +62-21-7493677/+62-21-7493579 Email jurnalrefleksi / / Website Refleksi p-ISSN 0215-6253; e-ISSN 2714-6103 is a journal published by the Faculty of Ushuluddin Syarif Hidayatullah State Islamic University, Jakarta, incooperation with Himpunan Peminat Ilmu Ushuluddin HIPIUS. The Journal specializes in Qur’an and Ḥadīth studies, Islamic Philosophy, and Religious studies, and is intended to communicate original researches and current issues on the subject. This journal welcomes contributions from scholars of related disciplines. Table of Contents Articles 1-26 Menjawab Keraguan Maurice Bucaille tentang Kesesuaian Hadis dan Sains Ahmad Fudhail 27-46 Penyimpangan Penafsiran dalam Tafsīr Al-Tsa’labī dan Al-Kashshāf Menurut Husain Al-Dhahabī Ali Thaufan Dwi Saputra 47-68 I’jaz Ilmy Al-Qur’ān dalam Penggunaan Kata Sama’ dan Baṣar Anzah Muhimmatul Iliyya 69-92 Konsep Jilbab Masa Klasik-Kontemporer Studi Komparatif Kitab Tafsir Al-Misbah dan Kitab Tafsīr Al-Kabīr Farida Nur Afifah, Siswoyo Aris Munandar 93-116 Studi Kenabian Muhammad Perspektif Michael Cook Mohamad Baihaqi Alkawy 117-140 Tasawuf Humanistik dan Relevansinya terhadap Kehidupan Sosial Spiritual Masyarakat Post Modern Abad Global Telaah Atas Pemikiran Tasawuf Said Aqil Siradj dan Muh. Amin Syukur Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 117 DOI Tasawuf Humanistik dan Relevansinya terhadap Kehidupan Sosial Spiritual Masyarakat Post Modern Abad Global Telaah Atas Pemikiran Tasawuf Said Aqil Siradj dan Muh. Amin Syukur Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal Universitas Dinamika Surabaya, IAI Uluwiyah Mojokerto muvid haykalstuned Abstract The modern era which is now stepping on the industrial revolution era has caused the human condition to change rapidly, they are “tempted” by technological sophistication so that they slowly forget and leave religion God which ultimately leads to social and spiritual problems in the midst of society in addition to moral problems that cannot be solved with any technological sophistication. The focus of this research is to analyze and find a solution to solve this problem through the concept of humanistic Sufism which was initiated by Said Aqil Siradj and Muh Amin Syukur. The findings produced are that humanistic Sufism Said Aqil and Amin Syukur are Sufism that teaches humans to be active in social life, pro-active to social problems, politics, economics, nationality, please help, tolerance, as well as to draw closer to God continuously. Humanistic Sufism also teaches to synergize between the world-hereafter, the soul-body, inner-soul, God-creature, social-individual, Sharia-nature. It is this moderate attitude which seeks to develop humanistic Sufism which later leads to the formation of social piety and spiritual piety that very relevant to the life of post modern people who are currently experiencing a social and spiritual crisis. Keywords Said Aqil, Amin Syukur, Humanistic Sufism, Social Spiritual, Post Modern Society Abstrak Era modern yang sekarang menginjak pada era revolusi industri telah menyebabkan keadaan manusia berubah secara cepat, mereka “tergoda” dengan kecanggihan teknologi sehingga perlahan melupakan dan meninggalkan agama Tuhan yang pada akhirnya menimbulkan problem sosial spiritual di tengah masyarakat di samping problem moral yang tidak bisa diselesaikan dengan kecanggihan teknologi apa pun. Fokus penelitian ini ialah menganalisis dan menemukan sebuah solusi untuk memecahkan masalah tersebut melalui konsep tasawuf humanistik yang digagas oleh Said Aqil Siradj dan Muh. Amin Syukur. Temuan yang dihasilkan adalah bahwa tasawuf humanistik Said Aqil dan Amin Syukur ialah tasawuf yang mengajarkan manusia untuk aktif di kehidupan sosial, pro aktif terhadap problem sosial, politik, ekonomi, kebangsaan, tolong menolong, toleransi, di samping mendekatkan diri kepada Allah secara kontinu. Tasawuf humanistik juga mengajarkan untuk menyinergikan antara dunia-akhirat, rohani-jasadi, lahir-batin, Allah-makhluk, individu-sosial, syariah-hakikat. Sikap moderat inilah yang berusaha dikembangkan tasawuf humanistik yang nantinya mengarah kepada pembentukan kesalehan sosial dan kesalehan spiritual yang sangat relevan dengan kehidupan masyarakat post modern yang tengah mengalami krisis sosial spiritual. Kata Kunci Said Aqil, Amin Syukur, Tasawuf Humanistik, Sosial Spiritual, Masyarakat Post Modern 118 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Pendahuluan Era global abad 21 M ini ditandai dengan munculnya berbagai kemajuan, pengetahuan, teknologi informasi, peradaban dan gaya hidup baru serta paradigma baru yang tidak jarang menimbulkan problem kehidupan masyarakat itu sendiri. Kemajuan zaman membuat masyarakat post modern tergiur dengan berbagai kecanggihan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang yang hal itu tidak dilandasi dengan keimanan yang kuat, akhlak yang tinggi dan jiwa yang bersih. Akhirnya, mereka tenggelam ke dalam sebuah paradigma pragmatis, hedonis, materialis, individualis, liberal, bahkan sekuler. Perlahan agama mulai ditinggalkan dan dilupakan, mereka beralih kepada teknologi dan ilmu pengetahuan yang dianggap mampu memecahkan, memenuhi dan menjawab segala kebutuhan dan masalah mereka. Ini memang sebagai dampak negatif dari adanya revolusi industri yang hal itu ditandai dengan semakin pesatnya kemajuan teknologi informasi. Abad modern di Barat yang dimulai sejak abad XVII M, merupakan awal kemenangan supremasi rasionalisme, empirisme, dan positivisme dari dogmatisme agama. Kenyataan ini dapat dipahami karena abad modern Barat ditandai dengan adanya upaya pemisahan antara ilmu pengetahuan dan filsafat dari pengaruh agama sekularisme. Perpaduan antara rasionalisme, empirisme, dan positivisme dalam satu paket epistemologi melahirkan apa yang oleh Huxley disebut dengan metode ilmiah scientific methode.Dengan metode ilmiah ini kebenaran sesuatu hanya diperhitungkan dari sudut fisiologis lahiriah yang sangat bersifat keinderawian dan kebendaan. Dengan wataknya tersebut sudah dapat dipastikan bahwa segala pengetahuan yang berada di luar jangkauan indra dan rasio serta pengujian ilmiah akan ditolaknya, artinya sesuatu pengetahuan yang tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, maka pengetahuan itu ditolak, termasuk di dalamnya pengetahuan yang bersumber pada agama yang kadang kala bersifat immateri yang sangat membutuhkan peran demikian, abad modern di Barat adalah zaman ketika manusia menemukan dirinya sebagai kekuatan yang dapat menyelesaikan persoalan-persoalan hidupnya. Manusia dipandang sebagai makhluk yang bebas, independen dari Tuhan dan alam. Manusia modern sengaja membebaskan diri dari tatanan ilmiah theomorphisme, yang kemudian untuk selanjutnya membangun tatanan antropomorphisme, yakni suatu tatanan yang berpusat semata-mata pada manusia. Manusia menjadi tuan atas nasibnya sendiri, yang mengakibatkannya terputus dari nilai spiritual rohaniah. Tetapi ironisnya, seperti yang dikatakan Roger Geraudy, justru manusia modern Barat pada akhirnya tidak mampu menjawab persoalan-persoalan hidupnya dan kembali kepada nilai-nilai spiritualitas yang dahulu pernah dicampakkannya. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 119 DOI Ini sebagai tanda bahwa masyarakat modern yang lahir dari ideologi’ renaissance periode kebangkitan kembali yang lebih mengedepankan rasionalitas akal dan melupakan peran wahyu’, sehingga mereka mengalami kepincangan intelektual dan spiritual yang jauh dari nilai-nilai ketuhanan. Akibatnya, mereka memisahkan diri dari agama untuk bisa bebas, mereka menjadi manusia yang menganggap dirinya bisa berdiri sendiri, bisa mengentaskan berbagai masalah dunia dan bisa terbang’ tanpa embel-embel agama. Dengan demikian, era kebangkitan kembali ini secara esensi merubah menjadi era keruwetan dan kegelapan bagi manusia abad modern. Era Globalisasi adalah masa yang ruwet’ di mana terjadi proses transformasi yang cepat dan tanpa batas di seluruh penjuru dunia dalam waktu yang singkat sehingga meruntuhkan semua batas-batas di segala bidang. Selain memberikan keuntungan bagi kehidupan manusia, dengan ketersediaan segala fasilitas dalam menunjang aktivitas kehidupan mereka, bersamaan dengan itu muncul pula praktik-praktik kehidupan materialisme dan hedonisme. Manusia dalam memenuhi keinginannya cenderung menghalalkan segala cara tanpa peduli samping kanan-kirinya yakni berkenaan dengan hak orang dari itu semua adalah terjadinya kekeringan spiritual yang menyerang manusia abad global ini, bukan hanya di daerah perkotaan tapi sudah merambat sampai pedesaan. Pada titik inilah ilmu tasawuf memiliki peluang besar untuk dijadikan sebuah referensi dan solusi dalam menangani persoalan tersebut. Lahirnya era globalisasi menandakan bahwa manusia sebagai makhluk yang berbudaya dan berperadaban. Setiap usaha dan tindakan yang dilakukannya merupakan usaha untuk selalu berkembang, maju satu langkah dari satu keadaan menuju keadaan berikutnya, dari satu fase ke fase selanjutnya. Transformasi ini kemudian disebut tindakan manusia yang selalu berisi perubahan-perubahan dari zaman ke zaman menuju ke arah yang maju atau modern, seperti sekarang ini. Era modern khususnya abad ini 21 M yang terus berkembang dewasa ini, yang berasal dari Barat yang didukung dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang terus berkembang, setidaknya sejak masa renaissance dan aufklarung ternyata, di samping memberikan dampak positif juga melahirkan dampak negatif, seperti sekularisme, hedonisme, materialisme, individualisme serta keterasingan yang melanda diri umat manusia. Hal ini sebagai akibat dari modernisasi yang disokong oleh ilmu pengetahuan’ yang bermuara pada rasionalisme secara berlebihan mendewakan akal dan berujung pada penyepelean’ peran-fungsi agama hingga lahir paham tersebut bermula sejak dibukanya kran pemikiran rasional oleh Rene Descartes 1596-1650, yang sering disebut bapak filsafat modern, yang ditandai 120 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI dengan adanya Jules Michelet dalam Ahmad Tafsir, yang merupakan sejarawan Perancis yang masyhur mengatakan bahwa Renaissance ialah priode penemuan manusia dan dunia, yang merupakan kelahiran spirit modern dalam transformasi idea dan lembaga-lembaga, renaissance menandai perkembangan peradaban yang terletak di ujung atau sesudah abad kegelapan bagi bangsa Barat Eropa sampai muncul abad utama renaissance ialah humanisme, individualisme, empirisme, rasionalisme, dan lepas dari agama sekularisme. Manusia tidak mau di atur oleh agama Kristen, Gereja. Hasil yang diperoleh dari watak ini ialah pengetahuan rasional, lahirnya ilmu pengetahuan dan teknologi. Humanisme menghendaki ukuran kebenaran adalah manusia, karena manusia merasa mampu mengatur dirinya dan dunia. Meskipun tanpa agama dan Tuhan, manusia mampu dan sanggup untuk melakukan demikian, sehingga mereka lama kelamaan tidak bisa mempertahankan nilai-nilai dasar tauhid yang ada pada dirinya. Karena nilai-nilai tauhid menjadi kekuatan dalam kehidupan umat Islam dan mempunyai fungsi praktis untuk melahirkan perilaku dan keyakinan yang kuat dalam proses transformasi kehidupan sehari-hari umat Islam dan sistem sosialnya. juga mengatakan bahwa manusia modern telah mengalami anomi, yaitu suatu keadaan di mana setiap individu manusia kehilangan ikatan yang memberikan perasaan aman dan kemantapan dengan sesama manusia lainnya, sehingga menyebabkan kehilangan pengertian yang memberikan petunjuk tentang tujuan dan arti kehidupan di dunia ini. Mereka juga sudah tidak menghiraukan persoalan metafisik tentang eksistensi diri manusia, asal mula kehidupan, makna dan tujuan hidup di Jagad ini. Kecenderungan ini terjadi akibat proses rasionalisasi yang menyertai modernitas telah menciptakan sekularisme kesadaran yang memperlemah fungsi kanopi suci agama dari domain kehidupan para pemeluknya dan menciptakan suasana chaos, atau ketidakberartian hidup pada diri manusia modern. Ini yang menyebabkan agama hilang dalam diri manusia secara eksistensi dan esensi, akibatnya mereka mengalami kehilangan visi keilahian. Untuk itu, tasawuf humanistik hadir dalam rangka menjawab problematik kehidupan sosial spiritual masyarakat post modern abad 21 M. Mengingat, tasawuf sebagai jalan alternatif yang tepat dalam mengobati rohani masyarakat post modern yang mana ilmu pengetahuan dan teknologi tidak mampu menjawab problem rohani mereka tersebut. Ini sebagai langkah untuk mengembalikan mereka ke jalan keilahian. Secara ontologis, para sufi lebih mempercayai dunia spiritual sebagai dimensi hidup yang lebih hakiki dan riil, dibanding dengan dunia jasmani. Meski keberadaan ruh spiritual tidak kasat mata, tetapi diyakini lebih utama dibanding badan material yang dapat dirasakan secara inderawi. Status ontologis Tuhan yang bersifat spiritual, para sufi berkeyakinan bahwa Dia-lah satu-satunya realitas sejati, Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 121 DOI “asal” sekaligus “tempat kembali,” alpha dan omega. Hanya kepada-Nya para sufi mengorientasikan jiwanya. Dia-lah buah kerinduan dan kepada-Nya semua akan berpulang untuk selamanya. Jika dipahami secara tekstual, pandangan seperti ini seolah menempatkan agama sebagai dimensi yang bertentangan’ dengan kegiatan sosial-ekonomi. Seluruh aktivitas yang mengarah pada pencarian hal duniawi kekayaan dipandang negatif dan tidak sesuai dengan dimensi spiritualitas. Padahal, ada sisi di mana orang justru dapat menjadikan profesinya sebagai jalan menuju kepada Allah. Asalkan setiap apa yang menjadi aktivitas kesehariannya dilaksanakan berdasarkan tuntunan al-Ghazālī 1058-1111, dianggap sebagai salah satu tokoh yang berhasil mengintegrasikan antara tasawuf dengan syariat. Ia menawarkan sufisme yang dinamis dan kreatif, dengan melihat kehidupan sebagai proses untuk mencapai penyempurnaan diri yang harus dilalui melalui aktivitas yang kreatif. Pandangan ini cukup banyak mempengaruhi pandangan dan praktik hidup sufi besar dalam Islam. Beberapa di antara ialah Muḥy al-Dīn Ibn Arābī 1165-1240 yang lebih banyak membahasa tentang perwujudan Tuhan secara keseluruhan alam nyata dan alam gaib. Kemudian ada juga al-Sya’rānī wafat 973/1585, yang memiliki pandangan bahwa hidup yang baik itu terletak pada pengabdian seseorang terhadap orang menjadi landasan tasawuf humanistik untuk mendidik manusia menjadi insan yang spiritual dekat dengan Allah dan insan yang secara sosial baik kepada makhluk. Tanggung jawab vertikal dan horizontal inilah yang berusaha diharmoniskan dan disinergikan oleh tasawuf humanistik melalui konsep pemikiran Said Aqil Siradj dan Muh Amin Syukur. Melalui kedua konsep tasawuf mereka berdua diharapkan menjadi solusi bagi kehidupan krisis sosial spiritual masyarakat post modern abad global. Untuk itu, dalam kajian ini penulis berusaha menganalisa dan menemukan relevansi tasawuf humanistik Said Aqil Siradj dan Muh. Amin Syukur atas krisis sosial spiritual masyarakat post modern melalui kajian pustaka dengan mengumpulkan berbagai dokumentasi, artikel, jurnal maupun hasil penelitian dan referensi yang terkait dengan hal tersebut. Temuan dan Analisis A. Konsep Tasawuf Humanistik Said Aqil Siradj Dalam pemikiran sufistik Kia Said Aqil Siradj menunjukkan bahwa titik puncak kesempurnaan beragama seseorang terletak pada kemampuan memahami ajaran Islam dan menyelaminya dengan penuh kekhusyukan dan keistikamahan yang kuat sehingga bersikap arif dan bijaksana al-ḥikmah dalam segenap pemahaman dan penafsiran itu QS. al-Jumū’ah 2. Di sinilah perlunya mengedepankan aspek sufistik dalam beragama, yaitu aspek esoteris; ruhaniah dari Islam. sisi positif dari pendekatan sufistik atau tasawuf ini adalah pemahaman 122 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI keislaman yang moderat serta bentuk dakwah yang mengedepankan qaulan kariman’ perkataan yang mulia-halus penuh kelembutan dan keramahan tidak frontal, qaulan ma’rufa’ perkataan yang baik, qaulan maisura’ perkataan yang pantas, qaulan layyinan’ perkataan yang lemah lembut, qaulan tsaqila’ perkataan yang berbobot dan qaulan sadidan’ perkataan yang benar; lurus tidak menggandung provokasi sebagaimana yang diamanatkan dalam al-Qur’ ia menambahkan bahwa tasawuf tidak dapat dipisahkan dari dalam Islam, sebagaimana halnya nurani dan kesadaran tertinggi juga tidak dapat dipisahkan dari Islam. Islam bukan dimaknai sebuah fenomena sejarah yang dimulai sejak tahun yang lampau. Namun, Islam merupakan suatu kesadaran abadi yang bermakna penyerahan diri dan ketundukan al-inqiyad seperti kata Islam itu sendiri yang memiliki arti ketundukan dan kepasrahan. Tasawuf adalah intisari ajaran Islam yang membawa kesadaran manusia seperti itu. Dalam hal ini pemikiran Said Aqil Siradj mengarah pada jiwa sosial tasawuf dalam perbaikan budi pekerti dan moralitas sebagai hal utama dari pemahaman Islam secara kaffah. Yang itu tampak pada cara dakwah Islam yang ramah, santun dan lemah lembut yang dicontohkan oleh Nabi saw., pendekatan akhlak yang digunakan dalam menyebarkan, mengajarkan dan mengenalkan ajaran Islam sehingga mudah diterima oleh semua kalangan. Artinya, ini masuk wilayah tasawuf yang mengedepankan akhlak; moral dibanding fisik; perang dalam mengenalkan Islam. Dakwah sebagai hubungan sosial antara pendakwah dengan masyarakat yang didakwahi, sehingga tasawuf tidak lepas dari unsur-unsur sosial yang selalu menebarkan kedamaian, harmonisasi dan persaudaraan antar umat manusia. Kaum sufi adalah mereka yang bersemangat untuk mengembalikan pesan yang orisinal dan sakral yang dibawa oleh Nabi saw. Hal ini merupakan kesadaran spontan dari ketulusan individu-individu Muslim untuk menyingkap jalan kenabian yang sejati. Mereka mendapat spirit cahaya nurani melalui gerakan yang diorganisasikan. Seorang sufi adalah penegak dan penjunjung tinggi pesan-pesan Islam. Persaudaraan yang mengikat kalangan sufi adalah sebuah realitas tanpa banyak koordinasi maupun organisasi yang bersifat lahiriah. Realitas tersebut lahir dari proses ibadah yang ikhlas dan sifat-sifat luhur dalam hati mereka serta adanya kesatuan sikap menerima hukum kenabian yang bersifat lahiriah yang berupa syariat. Perlu dipahami, bahwa kesufian adalah wilayah yang menghubungkan dimensi lahiriah dan batiniah. Dan pengamalan sufi ini hanya dapat dialami dalam kedirian batiniah lanjut, Said Aqil menyatakan bahwa cakupan tasawuf tidak hanya sekedar etika semata, melainkan juga estetika, keindahan. Tasawuf jika hanya bicara soal baik-buruk, tapi juga sesuatu yang indah. Ia selalu terkait dengan jiwa, ruh dan Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 123 DOI intuisi. Ia tidak hanya membangun dunia yang bermoral, tapi juga sebuah dunia yang indah dan penuh makna. Tasawuf tidak hanya berusaha menciptakan manusia yang hidup dengan benar, rajin beribadah, berakhlakul karimah, namun juga bisa merasakan indahnya hidup dan nikmatnya ibadah dzauq. Tasawuf juga berupaya menjawab persoalan esensial mengapa manusia berakhlak baik. Apabila etika dapat melahirkan semangat keadilan dan kemampuan merespons segala sesuatu dengan tepat, tasawuf dapat menumbuhkan makna dan nilai, serta menjadikan tindakan dan hidup manusia lebih luas dan kaya bukan statis dan semua sepakat tentang pentingnya etika dan moralitas ini. Ia merupakan pranata fundamental dalam penataan masyarakat ijtimaiyah. Kondisi carut marut bangsa ini dengan segudang masalah sosial, ekonomi, kultural, budaya, maupun agama ternyata tidak hanya bisa dipahami secara teknik-mekanis. Aspek etika dan moralitas akhlak ternyata perlu mendapat perhatian yang serius atau perlu dilirik oleh berbagai kalangan untuk menjawab masalah-masalah tersebut. Karena pada hakikatnya, moralitas memegang kunci penting dalam segala hal, dari hulu ke hilir atau dari yang berskala besar hingga ke yang berskala kecil remeh. Sehingga peran tasawuf sebagai pabrik’ yang membentuk moralitas harus menjadi sebuah solusi dan pijakan bagi semua kalangan masyarakat agar tercipta suasana yang indah, damai, beradab dan berkemajuan. Oleh karenanya pelatihan dan penjelajahan spiritual harus terus menerus dilakukan tanpa henti, tanpa jeda dan tak terputus istikamah hingga moralitas tersebut terbentuk sempurna yang menjadikan manusia tersebut insan kamil’.Hal ini menegaskan bahwa tasawuf sosial yang dikenalkan Said Aqil menambah khazanah baru dalam dunia tasawuf terlebih dalam kehidupan modern yang serba digital era Revolusi Industri untuk selalu mengedepankan moralitas dan akhlak mulia sebagai kunci utama dalam membangun dan memajukan aspek pendidikan, ekonomi, politik, budaya, dan lain sebagainya. Agar tidak terjadi berbagai ketimpangan dan masalah-masalah berkelanjutan. Kemudian, tasawuf sosial juga berperan untuk merespons dan memfilter berbagai paham yang masuk, gaya hidup yang lagi booming’ dan paradigma yang kebablasan’ yang membuat kehidupan manusia kacau dan menimbulkan masalah baru di tengah masyarakat. Pendekatan tasawuf sosial adalah upaya terus menerus melakukan latihan-latihan spiritual tanpa henti dalam sisi ruhani, kemudian sisi jasmani ia selalu menawarkan opsi-opsi yang positif untuk menghadapi berbagai masalah atau problem dan juga membentengi manusia dari jeratan pengaruh yang menyesatkan dan menjauhkan manusia dari jalan kebenaran. Tasawuf memiliki potensi kreatif sebagai arsitek dalam merancang kehidupan dengan mengimplementasikannya melalui dua dimensi yang saling beriringan. 124 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Yakni implementasi moral yang memiliki orientasi keilahian yang diterjemahkan dan dikaitkan dengan orientasi praktis untuk menciptakan kedamaian di antara manusia. Dalam kondisi seperti ini, maka ketika individu melakukan suatu kebaikan moral dalam komunitas, ia tidak semata-mata hanya merasakan sebagai tuntutan hukum normatif dengan segala sanksi yang mengiringinya, tapi juga menghayati sebagai kebaikan yang berasal dari semangat intuisinya. Dengan kata lain adalah menghayati norma-norma dengan seluruh jiwanya sebagaimana ia menghayati ajaran agamanya yang bergetar karena tengah merasakan hidup bersama dalam kesatuan Tuhan. Sampai di sini, bertasawuf sesungguhnya bukan suatu penyingkapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial. Sebaliknya, nilai-nilai tasawuf memiliki kemampuan untuk mengatasi masalah kerja sama sosial dan menciptakan aturan moral guna mengendalikan pilihan individu. Tanpa harus didesak seorang baca sufi akan menciptakan ketertiban dengan sendirinya begitu ia bersinggungan dengan orang lain. Dengan begitu, bagi seorang sufi, ikhtiar tidak menjadinya prinsip teologis statis. Tetapi, pembumian norma- norma kolektif dalam bermasyarakat ini disadur dari pesan-pesan moral substansial ajaran nilai-nilai implementasinya, nilai-nilai tasawuf menempatkan manusia sebagai wakil khalifah dan pusat kesadaran di bawah cahaya keilahian. Hal itu tidak lepas dari konsepsi sufi bahwa manusia bertindak selaku realitas perantara dalam eksistensi tempat Allah berinteraksi dengan kosmos secara langsung yang mengembang kualitas yang melekat pada sifat-sifat Allah. Karenanya, bertasawuf pada hakikatnya menyangkut aktivitas berupa kesadaran manusia paling dalam perihal relasi manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya yang terilhami oleh kualitas asma dan sifat Allah, yang kemudian terwujud dalam tingkah laku sosialnya. Dengan begitu, bertasawuf bukan suatu penyingkapan yang pasif atau apatis terhadap kenyataan sosial, sebaliknya pengejawantahannya adalah bagaimana pemahaman atas kualitas ketuhanan tersebut mampu ditransformasikan untuk mengukuhkan eksistensi kemanusiaan dalam realitas “kebumiannya.” Dari Tuhan menuju bumi, dari zat Tuhan menuju kepribadian manusia, nilai-nilai kemanusiaan diderivasi dari sifat-sifat Tuhan, dari kekuasaan Tuhan menuju kemampuan berpikir manusia, dari keabadian Tuhan menuju gerakan kesejarahan manusia, dari eskatologis menuju masa depan kemanusiaan. Kondisi itu menempatkan pancaran keilahian menjadi tidak ternafikan dalam konteks penajaman realitas kemanusiaan. Dengan bahasa lain, bertasawuf sejatinya membimbing manusia ke dalam harmoni dan kedamaian total. Interaksi kaum sufi dalam semua kondisi adalah dalam harmoni dan kesatuan dengan totalitas alam, sehingga perilakunya tampak sebagai manifestasi cinta dan kepuasan dalam segala hal. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 125 DOI Jadi, masyarakat yang ingin mendalami tasawuf dengan mengambil desain tasawuf sosial berarti harus berusaha menumbuhkan aspek rohani dan jasmani yang berorientasi pada moralitas; akhlak mulia. Kebaikan budi inilah yang akan mengantarkannya kepada kedekatan secara rohani kepada Allah swt. dan menjadikannya modal dalam menegakkan sebuah kebenaran, keadilan dan kedamaian di lingkup masyarakat. Artinya, sisi rohani ia jalan aktif terus menerus mendekatkan diri kepada Allah melalui latihan-latihan spiritual, mulai dari membiasakan zikir, tafakur, munajat di malam hari, perbanyak ibadah kepada-Nya dan melatih diri untuk melemahkan unsur-unsur syahwat. Kemudian sisi jasmaninya terus menggelorakan kebaikan, kedamaian, kesejukan, amal saleh, menjalin hubungan baik kepada siapa pun dan aktif menawarkan berbagai solusi inspiratif di tengah problem yang dihadapi masyarakat. Ini mengesankan bahwa tasawuf sosial tidak lepas dalam urusan duniawi yang dianggapnya sangat penting untuk kelangsungan hidup bersama-sama. Dan juga menandakan bahwa tasawuf sosial tidak diam diri terhadap dinamika masalah yang sedang dihadapi bangsa atau masyarakat. Tasawuf sosial inilah yang menjadi wujud dari gerakan spiritual Kiai Said Aqil Siradj. Berikut penulis gambarkan sebuah tabel pemikiran tasawuf humanistik Said Aqil Siradj B. Konsep Tasawuf Humanistik Muh. Amin Syukur Pemikiran Amin Syukur mengenai tasawuf adalah bahwa pada masa sekarang tasawuf mempunyai tanggung jawab sosial lebih berat dari pada masa klasik, karena kondisi dan situasianya yang lebih kompleks, sehingga refleksinya bisa berbeda. Oleh karena itu, tasawuf pada abad ini yakni XXI Masehi dituntut untuk lebih humanistik, empirik, dan fungsional. Penghayatan terhadap ajaran Islam buka Tasawuf Humanistik Mensinergikan duniawi dan ukhrawi, spiritual dan sosial Menjunjung tinggi moralitas, keharmonisan, kebersamaan, Mengobati Krisis Sosial Spiritual Masyarakat Post Gambar 1 Konsep Tasawuf Humanistik Said Aqil 126 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI hanya sekedar reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial, ekonomi dan akibat dari era modern terlebih saat ini era industry era digitalisasi. Era di mana kehidupan masyarakatnya serba rasionalis, sekularis, materialis, hedonis, induvidualis dan lain sebagainya. Sikap-sikap demikian ternyata menjadi problem tersendiri dalam kehidupan masyarakat. Hal-hal yang dianggap bisa memberikan kebahagiaan hidup, ketenangan hidup dan kenyamanan ternyata justru tidak mampu memberikan kepuasan hidup yang diinginkan, bahkan menimbulkan kegelisahan dalam hidup. Di mana mereka mengalami kekeringan spiritual dalam dirinya. Sehingga merasakan kehampaan dalam hidupnya. Untuk itu, Amin Syukur sebagai intelektual sufisme Muslim Nusantara menyuguhkan berbagai cara untuk melaksanakan tanggung jawab sosial tasawuf sebagai langkah penyempurnaan moral individual ke arah moral struktural sosial dengan cara berikut dari jiwa ke tubuh, dari rohani ke jasmani, dari etika individual ke politik sosial, dari meditasi ke tindakan terbuka, dari isolasi ke gerakan sosial politik ekonomi, dari pasif ke aktif dan dari kesatuan khayal ke persatuan pandangan Amin Syukur mengenai tasawuf sosial sebagai langkah untuk tidak memisahkan antara hakikat dan syariat dan pula tetap berkecimpung dalam hidup dan kehidupan duniawi, tidak memisahkan dunia dan tentang mu’amalah ijtima’iyah ini ingin mendidik jiwa salik menjadi manusia sosial yang aktif, solutif, dinamis dan mampu memberikan warna yang indah di tengah kehidupan masyarakat. Bukan menjadi seorang sufi yang acuh akan kehidupan dunia, asing akan hidup bermasyarakat dan menjauhkan diri dari problematik yang di alami oleh masyarakat. Ini tidak hanya bertentangan dengan ajaran agama Islam, namun juga tidak dibenarkan dalam ajaran tasawuf. Senada dengan penjelasan penulis di atas, Amin Syukur dalam karyanya yang lain menjelaskan bahwa sufi yang sebenar-benarnya adalah sufi yang mampu melakukan ta’āwun tolong menolong; gotong royong dengan muslim lain dan sesama manusia untuk kemajuan masyarakat. Inilah implementasi dari insan kamil. Sufi yang seperti itulah yang masuk dalam katagori neo-sufisme yang sangat menekankan perlunya pelibatan diri dalam masyarakat secara lebih kuat dari pada sufisme yang senang zuhud asketisme yang inklusif dalam kehidupan demikian, materi tentang sosial kemasyarakatan dalam tasawuf moderat ini sangat perlu untuk dipelajari masyarakat modern abad ini agar nantinya ia menjadi manusia yang mempunyai jiwa spiritual juga jiwa sosial. Ketika ia berhasil memiliki jiwa spiritual, ia tetap menjadi anggota sosial masyarakat, ia juga tetap menjadi khalifah fi al ardh yang tugasnya menjaga, merawat dan melestarikan alam semesta. Capaian jiwa spiritual tersebut akan tetap ada sampai ia wafat, bukan sirna Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 127 DOI manakala derajat ketakwaan diraihnya. Karena, ia harus senantiasa menyinergikan tugas Ilahiah, juga tugas insaniah kemanusiaan; kemasyarakatan. Tidak menjadi pribadi yang tertutup, tapi terbuka, tidak menjadi pribadi yang pendiam akan segala keadaan, tapi kritis akan dinamika sosial politik masyarakat, tidak menjauhkan diri dari masyarakat, tapi hadir di tengah-tengah masyarakat untuk membantunya mengatasi problem yang sedang di alaminya. Ini menjadi penegasan bahwa tasawuf adalah bagian dari syariat Islam, yakni perwujudan dari ihsan, salah satu dari tiga kerangka ajaran Islam yang lain yakni Iman dan karenanya, bagaimana pun perilaku tasawuf sufi harus berada dalam kerangka syariat. Sehingga tepat jika Abū Yazid al-Busṭāmī mengatakan sebagaimana yang dinukil al-Qushayrī,Kita tidak boleh tergiur terhadap orang yang diberi kekeramatan, sehingga tahu betul konsistensinya terhadap syariat Islam.’ Dengan demikian, tasawuf sosial ialah tasawuf yang tidak memisahkan antara hakikat dan syariah dan juga tetap berkecimpung dalam hidup dan kehidupan duniawi-sosial, tidak memisahkan antara dunia dan akhirat. Keduanya sejalan beriringan menuju kedekatan pada sang Kuasa. Tasawuf sebagai manifestasi dari ihsan tadi, merupakan penghayatan seseorang terhadap agamanya, dan berpotensi besar untuk menawarkan pembebasan spiritual, sehingga ia mengajak manusia mengenal dirinya sendiri, dan akhirnya mengenal Tuhannya. Kemudian, Amin Syukur lebih lanjut menambahkan bahwa lahirnya tasawuf sebagai fenomena ajaran Islam, diawali dari ketidakpuasan terhadap praktik ajaran Islam yang cenderung formalisme dan legalisme. Selain itu, tasawuf juga sebagai gerakan moral kritik terhadap ketimpangan sosial, politik, moral, dan ekonomi yang dilakukan oleh umat Islam, khususnya kalangan penguasa waktu itu. Pada saat demikianlah, tampil beberapa orang tokoh untuk memberikan solusi dengan ajaran tasawufnya. Solusi tasawuf terhadap formalisme dan legalisme dengan spiritualisasi ritual merupakan pembenahan dan transformasi tindakan fisik ke dalam tindakan menandakan bahwa tasawuf tampil sebagai reaksi atas berbagai masalah-masalah yang terjadi di tengah masyarakat. Tasawuf tidak mengajarkan kejumudan statis namun reaktif dan aktif menjawab problematik umat sesuai dengan kondisi dan masanya. Oleh karenanya, tasawuf sosial hadir untuk menjadi penengah di antara masalah yang sedang melanda selain sebagai alat’ untuk mendekatkan diri kepada Allah swt. Amin Syukur dalam hal ini ingin memberikan pesan pada masyarakat bahwa tasawuf mempunyai tugas dan peran sosial bukan hanya peran spiritual semata sehingga tasawuf tampil dengan dua sayap yakni aspek lahir dunia; syariah dan aspek batin akhirat; hakikat. Keduanya berjalan beriringan, yang aspek lahir untuk membantu permasalahan umat yang sedang terjadi sehingga 128 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI bersifat aktif dan reaktif. Kemudian, aspek batin untuk membantunya meraih kedekatan, ketenangan dan kebahagiaan rohani bersama Allah swt. Tasawuf tidaknya statis, ia dinamis menyesuaikan dengan kondisi dan situasi yang sedang berlangsung. Tasawuf pada masa Abū Dzar, Ḥasan al-Baṣrī sampai kepada al-Ghazālī memang cenderung menarik diri dari duniawi karena disebabkan faktor runtuhnya moral, budaya, kekuasaan yang zalim, kehancuran ilmu dan amal. Dengan demikian, maka tampaklah bahwa tasawuf membumi dan aplikatif terhadap problem yang dihadapi pada masanya. Kemudian, pada abad 21 ini, tasawuf dituntut untuk lebih humanistik, empirik dan fungsional sehingga ia layak disebut tasawuf kontekstual’. Penghayatan terhadap ajaran Islam, bukan hanya reaktif, tetapi aktif serta memberikan arah kepada sikap hidup manusia di dunia ini, baik berupa moral, spiritual, sosial, ekonomi, politik, budaya, pendidikan dan sebagainya. Dan ketika tasawuf menjadi pelarian’ dari dunia yang kasat mata’ menuju dunia yang spiritual mistik’ bisa dikatakan sebagai reaksi dan tanggung jawab sosial, yakni kewajiban dalam melakukan tugas dan merespons terhadap masalah-masalah sosial kemasyarakatan yang sedang Amin Syukur di atas menandakan bahwa tasawuf selalu merupakan bagian kehidupan manusia. Air-airnya yang menyucikan senantiasa membersihkan ilmu dan pengetahuan manusia. Ibarat, sungai yang bergemuruh, tasawuf tidak pernah berhenti mengalir. Karena itu, akan mustahil untuk membatasinya para era atau abad tertentu, atau menganggapnya sebagai hal yang berbeda di sepanjang berbagai tahapan kehidupan manusia. Meskipun fakta bahwa perbedaan-perbedaan lahiriah sudah pasti terjadi, dan kita harus mengakui satu hal penting, yakni tasawuf merupakan suatu esensi unik yang sangat tidak terpengaruh oleh perbedaan-perbedaan pada manusia, talenta-talenta, emosi-emosi serta faktor-faktor geografis atau pun historis. Kemudian tasawuf memiliki dua aspek yakni aspek praktis yang dapat dicapai amal saleh dan aspek teoritis yang dapat dipahami dzauq; qalbiyah. Ini menegaskan bahwa Tasawuf memberikan warna dalam setiap kehidupan, zaman, masa, maupun era untuk keberlangsungan kehidupan manusia di dunia yang menyangkut paradigma, pola hidup, kebutuhan, tantangan hidup, solusi atas problem yang hadapi dan jalan petunjuk bagi mereka untuk dekat dengan Tuhan. Tasawuf sosial yang dibangun Amin Syukur memberikan warna baru bagi kehidupan rohani dan sosial. Ia hadir sebagai solusi ukhrawi dan juga duniawi bagi masyarakat. Sehingga, tasawuf sosial dimaknai sebagai suatu terobosan bagi masyarakat modern di era milenial sekarang ini untuk menjadi obat’ spiritual yang kering akan hidayah Allah disebabkan karena hidup yang penuh hedonisme, materialisme, individualisme. Kemudian menjadi solusi’ bagi berbagai ketimpangan- Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 129 DOI masalah sosial, ekonomi, pendidikan, politik dan budaya bahkan agama, bahwa semua itu bersumber dari satu yakni sikap’. Sikap bermuara kepada kepribadian yang bersumber dari qalb hati. Hati yang bermasalah inilah yang menimbulkan berbagai ketimpangan dan masalah-masalah di berbagai bidang. Tasawuf hadir untuk memperbaiki hati tersebut agar pribadinya baik dan sikap yang dilahirkan mulia. Dan ketimpangan-ketimpangan tersebut bagi para sufi yang berkiblat kepada tasawuf sosial, mereka bergerak aktif untuk membantu masyarakat, tidak berdiam diri atau acuh. Mereka juga ikut membantu orang lain yang sedang terkena musibah, kesulitan atau sejenisnya baik berupa saran, nasehat, jasa, sumbangan pikiran atau materi. Artinya, dalam desain tasawuf sosial ini, para sufi, mursyid dan tokoh tasawuf ikut ambil bagian andil dalam mengentaskan masalah-masalah yang menerpa masyarakat tersebut. Bahkan pemikiran tasawuf moderat Amin Syukur mengarah kepada terbentuknya zikir sosial. Tidak hanya zikir bi al-lisān maupun bi al-qalb saja. Mengenai hal itu, ia menjelaskan bahwa zikir tersebut terdiri dari tiga bentuk, di antaranya Pertama, zikir dengan lisan. Zikir yang diperintahkan Allah swt. itu bisa dilakukan dengan lisan bi al-lisān, yakni dengan mengucapkan kalimah ṭayyibah seperti kalimah tasbih, tahmid, tahlil, istigfar, hauqalah atau dengan bentuk kalimah ṭayyibah kalimah yang baik lainnya. Dalam kaitan ini Allah swt. memerintahkan melalui firman-Nya “Dan sebutlah nama Tuhanmu di waktu pagi dan petang” QS. al-Insān 25. Zikir tingkat ini adalah zikir pada tahapan taraf/tingkatan elementer, ucapan lisan untuk membimbing hati, agar selalu ingat kepada-Nya. Setelah seseorang itu terbiasa istikamah melakukan zikir, maka dengan sendirinya hati yang bersangkutan menjadi konek ingat Allah. Artinya, ketika seseorang sudah menjalankan zikir bi al-lisān secara teratur, istikamah dan berlanjut terus-menerus maka dapat menembus membuka hati untuk mengingat Allah swt. sehingga tidak hanya mengingat Allah di lisan namun juga di hati. Dengan kata lain, zikir lisan akan naik pada tingkat zikir hati jika dilaksanakan dengan baik dan secara terus menerus tekun; istikamah. Kedua, zikir dengan hati. Amin Syukur melanjutkan pembahasannya dalam hal ini terkait dengan zikir bi al-qalb. Bahwa Ingat asma Allah swt., dalam hati itu merupakan sikap ingat, tanpa menyebut atau mengucapkan sesuatu. Zikir seperti ini juga diperintahkan oleh Allah swt., dan dalam posisi ini seseorang secara istikamah atau kontinu selalu ingat kepada-Nya. Sebagaimana firman-Nya “Wahai orang-orang yang beriman, berzikirlah kepada Allah dengan sebanyak-banyaknya.” QS. al-Aḥzāb 41. 130 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Zikir hati ini masih dalam hitungan kuantitatif, setelah zikir hati, maka akan naik menjadi zikir ruh, yang tidak lagi membutuhkan hitungan. Artinya zikir kepada Allah sudah mendarah daging dalam setiap gerak, aktivitas, bahkan hembusan nafasnya. Ketika seseorang sudah dapat mengamalkan zikir hati dengan baik, lama kelamaan ia akan naik pada tingkatan zikir al-rūḥ, di mana asma Allah-lah yang terpaut dalam hati dan jiwanya. Tidak ada sesuatu yang terbesit kecuali asma Allah dan Allah swt. Namun perlu diingat bahwa dalam mengamalkan zikir tasawuf untuk bisa sampai pada tingkat puncak, tidak bisa dilakukan secara sembarangan. Artinya perlu melakukan usaha yang giat dan sungguh-sungguh mujāhadah dan melalui latihan-latihan spiritual yang intens riyāḍah agar zikir yang kita lakukan dapat sampai terkoneksi kepada Zat Allah swt. sehingga usaha kita tidak sia-sia. Ketiga, zikir sosial. Bentuk zikir yang ketiga ialah dengan aktivitas sosial’, yakni dengan menginfakkan sebagian harta untuk kepentingan sosial, melakukan hal-hal yang berguna bagi pembangunan bangsa dan negara serta agama. Zikir ini merupakan refleksi dari pengamalan zikir lisan dan zikir hati. Zikir sosial ini manfaatnya lebih kelihatan nyata real dari pada bentuk zikir pertama lisan dan kedua hati. Jika zikir yang pertama dan kedua bersifat individual yakni arah vertikal ḥabl-min Allāh, maka zikir model ketiga ini lebih bersifat sosial yakni arah horizontal habl-min al-nās yang mempunyai kepekaan dan kepedulian sosial kemasyarakatan. Model zikir ini yang paling banyak disinggung dalam al-Qur’ arti bahwa al-Qur’an memerintahkan kita untuk senantiasa menabur kebaikan, kemanfaatan dan kedamaian di bumi dengan senantiasa membantu, menolong dan menjaga persatuan antar sesama. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa makna yang terkandung dalam al-Qur’an sebagaimana penjelasan di atas inilah yang ditangkap oleh Amin Syukur sehingga ia memperkenalkan istilah zikir sosial sebagai aktualisasi dari pengamalan zikir lisan dan zikir hati. Menurut penulis, ini bisa sebagai indikator bagi para salik yang mengarungi perjalanan tasawuf sufi, seberapa tingkat keberhasilan zikirnya baik lisan maupun hati itu bisa dilihat dari seberapa peka dan peduli ia dengan masalah-masalah sosial kemasyarakatan. Dalam hal ini, tampaknya Amin Syukur tidak ingin memisahkan tasawuf dengan kehidupan atau masalah sosial, malah sebaliknya ia ingin membangun tiang tasawuf untuk kepentingan sosial bukan kepentingan rohaniah batin saja. Kepentingan rohaniah sebagai tujuan dari tasawuf, namun kepentingan sosial sebagai aktualisasi dampak/efek dari wujud perjalanan rohaniah yang telah diarunginya tersebut. Semakin dalam perjalanan rohaniahnya kepada Tuhan maka semakin peka dan pedulinya ia dengan makhluk sekitarnya kondisi sosial. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 131 DOI Oleh karenanya, dapat pandangan Amin Syukur tersebut dapat disimpulkan bahwa tasawuf sosial bukan tasawuf yang isolative, tetapi aktif di tengah-tengah pembangunan masyarakat, bangsa dan negara sebagai tuntutan tanggung jawab sosial tasawuf pada abad 21 M ini. Tasawuf sosial bukan lagi bersifat uzlah dari keramaian, namun sebaliknya harus aktif mengarungi kehidupan ini secara total, baik dalam aspek sosial, politik, budaya, pendidikan, ekonomi dan sebagainya. Oleh karena itu, peran para sufi di masa modern ini seharusnya lebih empirik, pragmatis dan fungsional dalam menyikapi dan memandang kehidupan ini secara penulis gambarkan peta pemikiran tasawuf humanistik Muh. Amin Syukur dalam bentuk tabel di bawah ini C. Relevansi Tasawuf Humanistik Said Aqil Siradj dan Muh Amin Syukur terhadap Kehidupan Sosial Spiritual Masyarakat Post Modern Abad Global Tasawuf Humanistik yang digagas oleh Said Aqil dan Amin Syukur memiliki hubungan yang positif dan signifikan terhadap kondisi sosial spiritual post modern abad 21 M ini. Masyarakat post modern yang telah kehilangan visi keilahiannya yang berdampak pada aspek spiritualnya dan mereka juga kehilangan jati dirinya sebagai makhluk sosial yang berdampak pada aspek sosialnya membuatnya tidak hanya jauh dari Allah, namun juga jauh dari kerumunan masyarakat. Bukan hanya mengalami kegelisahan rohani, namun juga mengalami kondisi mental yang cenderung egois, individualis yang berakibat pada diharmonisasi dengan warga masyarakat. Oleh karenanya, konsep tasawuf humanistik yang digagas Said Aqil dan Sosialis, humanis bukan Isolatif, egois Peka dan Peduli terhadap masalah-masalah sosial Aktif Ibadah dan aktif menolong Tasawuf Humanistik lahir sebagai upaya alternatif untuk menghilangkan krisis sosial spiritual masyrakat post modern abad global Gambar 2 Konsep Pemikiran Tasawuf Humanistik Muh Amin Syukur 132 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Amin Syukur ini sebagai jalan untuk mengobati sisi spiritual dan sosial masyarakat yang nantinya akan berdampak pada sikap, kepribadian dan moralitas mereka. Perlu diketahui, bahwa tasawuf humanistik yang digagas Said Aqil dan Amin Syukur bukan tasawuf yang mengacuhkan dunia, mengasingkan diri di tengah masyarakat, bukan juga yang fokus pada sisi rohani, bukan juga tasawuf yang mengajarkan kemiskinan, kefakiran dan sejenisnya. Namun, tasawuf yang proaktif, optimistis, humanistik, yang mengedepankan sikap moderat tawāsuṭ, tawazun seimbang, ta’āwun saling menolong, i’tidal proporsional, tasāmuḥ toleransi dan ṭuma’ninah tenang; damai serta taat. Kemoderatan tasawuf humanistik ini sebagai strategi untuk membangun masyarakat yang seimbang, yakni masyarakat yang mampu menyeimbangkan kepentingan duniawi-ukhrawi, rohani-jasadi, syariah-hakikat, individu-sosial, agama-negara, sehingga akan melahirkan hubungan yang indah, harmonis, dan saling bersinergi satu sama lain. Akhirnya, menjadi insan yang berhasil meraih kebahagiaan dunia dan akhirat. Tasawuf merupakan keilmuan yang mengkaji tentang proses memperindah akhlak dalam bentuk lahir dan penyucian jiwa secara batin untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat. Pada konteks modernisme yang lebih luas, tasawuf juga dihubungkan dengan ilmu psikologi dan ilmu umum lainya. Fenomena ini menggambarkan bahwa ilmu tasawuf dapat dimaknai secara komprehensif dengan berbagai pendekatan yang kemudian akan menghasilkan berbagai macam inovasi dalam pengembangan pengetahuan tidak terkecuali pendidikan. Ilmu tasawuf dapat diterapkan dan diaplikasikan melalui pendekatan pendidikan karakter yang mengedepankan penanaman nilai. Dinamika kehidupan modern tumbuh seiring dengan kebutuhan manusia yang terus berkembang. Kebutuhan yang terus berkembang selanjutnya akan menjadi bumerang bagi manusia dan kelompoknya bila tidak mampu dikemas dalam konteks zaman inilah yang harus dilandasi dengan nilai-nilai sufistik, tanpa harus bersikap acuh terhadap dinamika zaman. Sebagai contoh praktik kaum sufi pada tarekat syadziliyah. Mereka senantiasa mengamalkan amaliah-amaliah spiritual berupa; istighfar, ṣalawat ummi, kalimah tawḥid, doa, waṣilah dan rabiṭah, hal demikian secara perlahan memiliki pengaruh atau dampak positif terhadap kesalehan spiritual dan ritual. Seperti terlihat pada meningkatnya rutinitas dan disiplin mereka penganut tarekat dalam menjalankan ibadah wajib maupun sunah, meningkatnya ketakwaan mereka kepada Allah swt. memberikan ketenangan hati dan pengaruh agar senantiasa berserah diri kepada Allah swt., baik dalam keadaan sedang mendapatkan nikmat maupun cobaan selama menjalani hidup. Maka tidak heran, jika kehidupan mereka tampak begitu ramah, tenang, dan kedisiplinan dan rutinitas pengamal tarekat tersebut dalam Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 133 DOI menjalankan ibadah wajib maupun sunah, ketakwaan, sikap tenang, dan berserah diri dalam menjalani serta menyikapi berbagai aktivitas kehidupan menjadi bukti nyatanya. Ini menampilkan bahwa pengamal tarekat tasawuf tidak hanya fokus pada masalah spiritual, ritual semata, tapi juga peka terhadap masalah sosial dan moral. Penjelasan di atas diperkuat oleh pandangan Sayyid Nur bin Sayyid Ali bahwasanya sufisme diadakan dengan tujuan sebagai berikut berupaya menyelamatkan diri dari akidah-akidah syirik dan batil, melepaskan diri takhallī dari penyakit-penyakit hati, mengisi diri taḥallī dengan akhlak Islam yang mulia, menggapai derajat ihsan dalam ibadah tajallī, menstabilkan akidah persahabatan ketuhanan shuhbah Ilāhiyyah, dengan maksud Allah swt. melihat hamba-hamba-Nya dengan meliputi mereka dari segala arah ilmu, kekuasaan, pendengaran, dan penglihatan-Nya, menggapai kekuatan iman yang dahulu pernah dimiliki para sahabat Rasulullah saw., menyebarkan ilmu-ilmu syariat dan meniupkan roh kehidupan kepadanya, mampu mengembalikan kepemimpinan mendunia secara global ke pangkuannya, baik peta politik maupun ekonomi, serta dapat menyelamatkan bangsa-bangsa yang ada dari alienasi dan kehancuran. Paradigma yang demikianlah yang dibangun tasawuf humanistik di tengah masyarakat abad global, ini untuk menggiring mereka kepada keaktifan terhadap masalah sosial, politik, ekonomi demi kemaslahatan umat yang lebih luas, di samping senantiasa memupuk diri dengan taqarrub, mujāhadah, riyāḍah, munajat dan murāqabah kepada Allah swt. Tasawuf sendiri merupakan ilmu yang membahas tentang penyucian jiwa, yang bersifat rohaniah. Tasawuf menggunakan pendekatan abstrak untuk memahaminya. Tasawuf sepenuhnya adalah disiplin ilmu yang berdasarkan ajaran Islam bertujuan untuk membentuk watak dan pribadi muslim menempuh insan kamil, dengan cara mengharuskan mereka melaksanakan sejumlah peraturan, tugas dan kewajiban serta keharusan tasawuf juga identik dengan kemampuan manusia dalam mengendalikan nafsu yang timbul dari dalam jiwa, sejalan dengan konsep keilmuan modern, yang secara khusus dibahas dalam ilmu psikologi tentang kecerdasan manusia, yaitu Intelegenci Quotient IQ, Emotional Quotient EQ, dan Spiritual Quotient SQ. Kecerdasan pertama berhubungan dengan intelektualitas seseorang yang dikenal dengan IQ. Seseorang yang cerdas dalam konsep IQ merupakan seseorang yang mampu memahami dan mengetahui berbagai macam ilmu pengetahuan dengan waktu yang cepat. Tentu, kecerdasan intelektualitas tidak mampu menciptakan manusia yang sempurna serta tidak akan mampu memenuhi semua keinginan yang terdapat dalam jiwa manusia dengan berbagai macam bentuk 134 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI emosinya. IQ merupakan kemampuan pemahaman dalam konteks kognitif, mulai dari pengetahuan, pemahaman, aplikasi, analisis, sintesis dan evaluasi. Kecerdasan intelektual IQ bila tidak disertai dengan pengolahan emosi yang baik tentu tidak akan menghasilkan seseorang sukses dalam hidupnya. Peranan IQ hanyalah sekitar 20% untuk menopang kesuksesan hidup seseorang, sedangkan 80% lainnya ditentukan oleh faktor yang lain. Selanjutnya ia mengatakan bahwa pentingnya pengelolaan emosi bagi manusia dalam pengambilan keputusan bertindak adalah sama pentingnya, bahkan seringkali lebih penting daripada nalar, karena menurutnya, kecerdasan intelektual tidak berarti apa-apa bila emosi yang kecerdasan emosional pertama kali dilontarkan pada tahun 1990 oleh psikolog Peter Salovey dari Harvard University dan John Mayer dari University of New Hampshire untuk menerangkan kualitas-kualitas emosional yang tampaknya penting bagi keberhasilan. Salovey dan Mayer mendefinisikan kecerdasan emosional atau yang sering disebut EQ sebagai “Himpunan bagian dari kecerdasan sosial yang melibatkan kemampuan memantau perasaan sosial yang melibatkan kemampuan pada orang lain, memilah-milah semuanya dan menggunakan informasi ini untuk membimbing pikiran dan tindakan.” Shapiro 1998. Namun demikian, menurut Rahmat Aziz dan Retno Mangestuti Emotional Intelligence pertama sekali dipopulerkan Pada tahun 1995 oleh Daniel Goleman. Dalam konsep yang dikemukakan Peter Salovey dan Aziz hakikatnya memiliki kesamaan tentang pengendalian jiwa yang lebih penting dari kecerdasan intelektual. Selain kecerdasan intelektual dan emosional, setiap individu diharapkan juga memiliki kecerdasan spiritual. Makna hidup dan pengalaman spiritual merupakan hasil tertinggi dari otak manusia. Kehilangan makna hidup dan ketiadaan pengalaman spiritual merupakan masalah utama manusia, keadaan ini berkaitan langsung dengan kondisi kesehatan manusia. Karena adanya hubungan yang saling mempengaruhi antara aspek fisik, mental dan spiritual manusia, maka keadaan ketiadaan akan melahirkan kondisi-kondisi penyakit pada itu, tasawuf humanistik sebagai upaya untuk mengaktifkan dan mengoptimalkan intelektual, emosional dan spiritual masyarakat post modern sehingga bisa mengendalikan diri, mengontrol diri, menguasai hawa nafsu, dan menjaga diri dari berbagai pengaruh negatif dan juga dari berbagai berita hoax. Dengan senantiasa melakukan amaliah-amaliah spiritual seperti zikir, membaca al-Qur’an, tafakur, meditasi, salawat, salat dan puasa. Amaliah-amaliah tersebut manakala dijalankan dengan baik, sungguh-sungguh dan istikamah maka akan berdampak positif terhadap kepribadiannya sehingga akan menimbulkan sikap sosial dan moral yang baik. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 135 DOI Oleh karenanya, tasawuf sosial humanistik sesungguhnya adalah sebagai penegasan dari substansi ajaran tasawuf itu sendiri yang mengedepankan keseimbangan harmonisasi antara kesalehan individu dan kesalehan sosial, atau keseimbangan harmonisasi antara hubungan manusia dengan Allah ḥabl-min Allāh dan hubungan manusia dengan sesamanya ḥabl-min al-Nās, bahkan hubungan dengan alam dan makhluk lainnya. Oleh karena itu, paradigma tasawuf sosial sebagai bentuk rekonstruksi tasawuf yang relevan dengan abad akan penulis gambarkan mengenai relevansi tasawuf humanistik Said Aqil dan Amin Syukur terhadap kehidupan sosial spiritual masyarakat post modern abad global 21 M Kesimpulan Dari penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut Pertama, tasawuf humanistik yang digagas oleh Said Aqil Siradj menempatkan tasawuf pada dimensi sosial dan spiritual. Artinya, tasawuf tidak hanya mengajarkan manusia untuk fokus ibadah kepada Allah, melainkan juga memperhatikan hak-hak sosial, keadaan masyarakat, bangsa dan agama. Tasawuf tidak boleh dipahami sebagai proses memutus segala hubungan selain Allah swt. Melainkan tasawuf harus dipahami sebagai pengintegrasian antara kepentingan dunia dan akhirat. Kedua, tasawuf humanistik yang juga digagas oleh Amin Syukur memberikan penegasan bahwa peran tasawuf khususnya abad 21 M bukan hanya masalah spiritual saja, tapi juga Masyarakat Post Modern 21 M gelisah, stress, putus asa, tidak bisa mengontrol diri dunia-akhirat, pribadi-sosial, agama-bangsa, Gambar 3 Relevansi Tasawuf Humanistik dengan Kehidupan Sosial Spiritual Masyarakat Post Modern abad 21 M 136 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI masalah sosial. Para sufi dan penempuh jalan tasawuf tidak boleh mengabaikan urusan duniawi, mereka harus aktif dalam membantu persoalan sosial masyarakat. Dan bukan menjadi orang yang mengasingkan diri secara total. Ketiga, relevansi antara pemikiran Said Aqil Siradj dan Amin Syukur mengenai konsep tasawuf humanistik ialah bahwa tasawuf sebagai jalan bagi manusia untuk mendekatkan diri kepada Allah sedekat mungkin dengan tidak melalaikan kewajibannya sebagai khalifah Allah di bumi yang mempunyai tugas-tugas sosial, tasawuf tidak boleh diamalkan tanpa syariat yang benar, tasawuf tidak boleh digunakan hanya untuk fokus kepada masalah-masalah ukhrawi. Tasawuf mengajarkan keseimbangan antara urusan dunia-akhirat, syariah-hakikat, hubungan dengan Allah juga hubungan dengan manusia, masalah spiritual dan sosial, sehingga menjadikan manusia yang moderat. Catatan Akhir Muhammed Arkoun, Nalar Islami dan Nalar Modern; Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat, Jakarta INIS, 1994, 44. HUxey, Methode of Scientific Investigation, New York Mcmillan Publishing, 1976, 402. M. Yasir Nasution, Spiritualitas Abad Modern; Telaah tentang Signifikansi Konsep Manusia al Ghazali, Medan 1994, 9. Roger Geraudy, The Balance Sheet of Westem Philosophy in This Century, dalam Toward Islamization of Diciplines No, 6 Malaysia the Islamic Intitute if Islamic Thought, Islamization of Knowledge Series, 1989, 397. Baca lengkapnya dalam M. Arif Khoruddin, “Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern,” IAIT Kediri, Volume 27, No. 1 2016 113-130. Rusli Karim, Agama dan Masyarakat Industri Modern Yogyakarta Media Widya Mandala, 1992, 4-5. Suadi Putro, Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas Jakarta Paramadina, 1998, 52. Bertrand Russel, Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, et,al, Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2002, 732. Ahmad Tafsir, Filsafat Umum; Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra Bandung PT Remaja Rosdakarya, 2001, 125-126. Silawati, “Pemikiran Tasawuf Hamka dalam Kehidupan Modern,” an Nida’, Volume 40, No. 2, 2015 119. Ali Maksum, Tasawuf sebagai Pembebas Manusia Modern Surabaya PSAPM, 2003, 1. Peter L. Berger, Prymids of Sacrifice Political Ethics and Social Change, terj. Tim Iqra’ Piramida Pengorbanan Manusia Bandung Iqra’, 1983, 35. Mulyadi Kartanegara, Filsafat Etika dan Tasawuf, Jakarta Ushul Press, 2009, 90-92. Ahmad Munji, “Profesi sebagai Tarekat,” Teologia, Volume 26, No. 2 2015 184-197. Syofrianisda dan M. Arrafie Abduh, “Pengaruh Tasawuf Alghazali dalam Islam dan Kristen,” Jurnal Ushuluddin, Volume 25, No. 1 2017 69-82. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 137 DOI Said Aqil Siradj, Tasawuf sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam Inspirasi bukan Aspirasi, Jakarta Mizan, 2006, 33. Said Aqil, Tasawuf., 36-37. Said Aqil, Tasawuf., 41-43. Said Aqil Siradj, “Membangun Tatanan Sosial Melalui Moralitas Pembumian Ajaran Tasawuf”, Miqot, Volume 35, No. 2 2011 255-256. Hasan Hanafi, Islam in the Modern World Ideology and Development Kairo Egyptian Associated Company, 2000, 11. Said Aqil Siradj, “Membangun Tatanan Sosial Melalui Moralitas Pembumian Ajaran Tasawuf”, Miqot., 256. Masalah bangsa seperti perjuangan melawan penjajah di Indonesia yang dicontohkan oleh para sufi Nusantara. Misalnya Syaikh Yūsuf al-Maqassarī yang diangkat sebagai Panglima Perang oleh Sultan Ageng Tirtayasa dalam melawan Kompeni Belanda. Baca lengkapnya dalam Lubis Nabilah, Syaikh Yusuf Makasar Menyingkap Segala Rahasia Bandung Mizan, 1996, 26. Kemudian Syaikh Abdul Muhyi Pamijahan dan Kiyai Abdul Karim Banten tak terlepas dalam mengentaskan berbagai problem masyarakat dan politik. Baca lengkapnya dalam Ja’far Shodiq, Pertemuan antara Tarekat dan NU Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2008, 23-25. Amin Syukur, Tasawuf Sosial Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2004, 21. M Amin Syukur, Menggugat Tasawuf dan Sufisme Tanggung Jawab Sosial Abad 21 Yogyakarta Pustaka Pelajar, 1998, 112. Amin Syukur, Menggugat Tasawuf., 3-6. Amin Syukur, Tasawuf Sosial., 13. M Amin Syukur, Tasawuf dan Krisis Yogyakarta Pustaka Pelajar, 2001, 43. Lihat juga Imam Ghazali Said, Kitab-kitab Karya Ulama’ Pembaharu; Biografi, Pemikiran & Pergerakan Surabaya PT Duta Aksara Mulia, 2018, 147-148. Al-Qushayrī, al-Risālah al Qushayriyah, terj. Umar al Faruq Jakarta Pustaka Amani, 2007, 103. Amin Syukur, Tasawuf Sosial., 12-13. Amin Syukur, Tasawuf Sosial., 21. Muḥammad Taqī’ Ja’farī, Positive Mysticism; Mengenal Tasawuf Positif Sebuah Pengantar, terj. Ali Yahya Jakarta Nur al Huda, 2011, 14-15. Amin Syukur, Tasawuf Sosial., 49. Amin Syukur, Tasawuf Sosial., 28. Restu Andrian, “Modernisasi Tasawuf Dalam Pengembangan Pendidikan Karakter,” Jurnal Mudarrisuna, Volume 9, No. 1 2019 36. Ova Siti Sofwatul Ummah, “Tarekat, Kesalehan Ritual, Spiritual Dan Sosial Praktik Pengamalan Tarekat Syadziliyah Di Banten,” Al A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Volume 15, No. 2, 2018 333. Ova Siti Sofwatul Ummah, Tarekat, Kesalehan Ritual, Spiritual dan Sosial, 315. Sayyid Nūr bin Sayyid Alī, Al-Tasawwuf Syar’iy Beirut Dār al-Kutūb al- Ilmiyyah, 2000, 17. M. Arif Khoiruddin, “Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern”, IAIT Kediri, 117. 138 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Rahmat Aziz dan Retno Mangestuti, “Pengaruh Kecerdasan Intelektual IQ, Kecerdasan Emosional EI Dan Kecerdasan Spiritual SI Terhadap Agresivitas Pada Mahasiswa UIN Malang”, El-Qudwah, Jurnal Penelitian dan Pengembangan, Volume 1, No 1, 2006 3. Cahyo Tri Wibowo, “Analisis Pengaruh Kecerdasan Emosional EQ Dan Kecerdasan Spiritual SQ Pada Kinerja Karyawan”, Jurnal Bisnis dan Manajemen, Volume 15, No. 1, 2015 3. Rahmat Aziz dan Retno Mangestuti, Pengaruh Kecerdasan…, 3. Buhari Luneto, “Pendidikan Karakter Berbasis IQ, EQ, SQ”, Jurnal Irfani, Volume 10, No. 1, 2014 135. H. Ma. Achlami Hs, “Tasawuf Sosial dan Solusi Krisis Moral”, Ijtimaiyya, Volume 8, No. 1, 2015 95. Daftar Pustaka Alī, Sayyid Nūr bin Sayyid. al-Tasawwuf Syar’iy, Beirūt Dār Kutūb al-Ilmiyyah. 2000. Andrian, Restu. “Modernisasi Tasawuf Dalam Pengembangan Pendidikan Karakter” Jurnal Mudarrisuna, Volume 9 No. 1 2019. Arkoun, Muhammed. Nalar Islami dan Nalar Modern; Berbagai Tantangan dan Jalan Baru, terj. Rahayu S. Hidayat. Jakarta INIS. 1994. Aziz, Rahmat dan Retno Mangestuti, “Pengaruh Kecerdasan Intelektual IQ, Kecerdasan Emosional EI Dan Kecerdasan Spiritual SI Terhadap Agresivitas Pada Mahasiswa Uin Malang” El-Qudwah, Jurnal Penelitian dan Pengembangan, Volume 1, No. 1, 2006. Berger, Peter L. Prymids of Sacrifice Political Ethics and Social Change, terj. Tim Iqra’ Piramida Pengorbanan Manusia. Bandung Iqra’. 1983. Geraudy, Roger. The Balance Sheet of Westem Philosophy in This Century dalam Toward Islamization of Diciplines No, 6. Malaysia the Islamic Intitute if Islamic Thought, Islamization of Knowledge Series. 1989. Hanafi, Hasan. Islam in the Modern World Ideology and Development. Kairo Egyptian Associated Company. 2000. Hs, Ma. Achlami. “Tasawuf Sosial dan Solusi Krisis Moral”, Ijtimaiyya, Volume 8, No. 1, 2015. HUxey, Methode of Scientific Investigation. New York Mcmillan Publishing. 1976. Ja’fari, Muhammad Taqi’. Positive Mysticism ; Mengenal Tasawuf Positif Sebuah Pengantar, terj. Ali Yahya. Jakarta Nur al Huda. 2011. Karim, Rusli. Agama dan Masyarakat Industri Modern. Yogyakarta Media Widya Mandala. 1992. Kartanegara, Mulyadi. Filsafat Etika dan Tasawuf. Jakarta Ushul Press. 2009. Muhamad Basyrul Muvid, Akhmad Fikri Haykal, Tasawuf Humanistik dan Relevansinya... 139 DOI Khoruddin, M. Arif. “Peran Tasawuf Dalam Kehidupan Masyarakat Modern” IAIT Kediri, Volume 27, No. 1 2016. Luneto, Buhari. “Pendidikan Karakter Berbasis IQ, EQ, SQ”, Jurnal Irfani, Volume 10, No. 1, 2014. Maksum, Ali. Tasawuf sebagai Pembebas Manusia Modern. Surabaya PSAPM. 2003. Munji, Ahmad. “Profesi sebagai Tarekat” Teologia, Volume 26, No. 2 2015. Mubarok, Suliyono M. “Penafsiran Ayat-Ayat Komunikasi Orang Tua dan Anak Perspektif Tafsir Sufi Al-Qushayrī”, Refleksi, Volume 18, Nomor 2, Oktober 2019. Nabilah, Lubis. Syaikh Yusuf Makasar Menyingkap Segala Rahasia. Bandung Mizan. 1996. Nasution, M. Yasir. Spiritualitas Abad Modern; Telaah tentang Signifikansi Konsep Manusia al Ghazali. Medan 1994. Nasuhi, Hamid. “Tasawuf dan Gerakan Tarekat di Indonesia Abad ke-19”, Refleksi, Vol. II, No. 1, 2000. Putro, Suadi. Muhammad Arkoun tentang Islam dan Modernitas. Jakarta Paramadina. 1998. Al-Qushayrī. Al-Risalah al Qusyairiyah, terj. Umar al Faruq. Jakarta Pustaka Amani. 2007. Russel, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat dan Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik dari Kuno hingga Sekarang, terj. Sigit Jatmiko, et.,al. Yogyakarta Pustaka Pelajar. 2002. Said, Imam Ghazali. Kitab-kitab Karya Ulama’ Pembaharu; Biografi, Pemikiran & Pergerakan. Surabaya PT Duta Aksara Mulia. 2018. Shodiq, Ja’far. Pertemuan antara Tarekat dan NU. Yogyakarta Pustaka Pelajar. 2008. Silawati, “Pemikiran Tasawuf Hamka dalam Kehidupan Modern” an Nida’, Volume 40, No. 2 2015. Siradj, Said Aqil. “Membangun Tatanan Sosial Melalui Moralitas Pembumian Ajaran Tasawuf” Miqot, Volume 35, No. 2 2011. Siradj, Said Aqil. Tasawuf sebagai Kritik Sosial; Mengedepankan Islam Inspirasi bukan Aspirasi. Jakarta Mizan. 2006. Syarif, Edwin. “Etika Falsafah Islam Perspektif Kesetaraan Gender”, Refleksi, Volume 15, Nomor 2, Oktober 2016. Syofrianisda dan M. Arrafie Abduh, “Pengaruh Tasawuf Al Ghazali dalam Islam dan Kristen,” Jurnal Ushuluddin, Volume 25, No. 1 2017. Syukur, M Amin, Tasawuf dan Krisis. Yogyakarta Pustaka Pelajar. 2001. 140 REFLEKSI, Volume 19, Nomor 1, April 2020 DOI Syukur, M Amin. Menggugat Tasawuf dan Sufisme Tanggung Jawab Sosial Abad 21. Yogyakarta Pustaka Pelajar. 1998. Syukur, M Amin. Tasawuf Sosial. Yogyakarta Pustaka Pelajar. 2004. Tafsir, Ahmad. Filsafat Umum; Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. Bandung PT Remaja Rosdakarya. 2001. Ummah, Ova Siti Sofwatul. “Tarekat, Kesalehan Ritual, Spiritual Dan Sosial Praktik Pengamalan Tarekat Syadziliyah Di Banten,” Al-A’raf Jurnal Pemikiran Islam dan Filsafat, Volume 15, No. 2, 2018. Wibowo, Cahyo Tri. “Analisis Pengaruh Kecerdasan Emosional EQ Dan Kecerdasan Spiritual SQ Pada Kinerja Karyawan” Jurnal Bisnis dan Manajemen, Volume 15, No. 1, 2015. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this M MubarokThis paper discusses the interpretation of verses of al-Qushayrī’s parent and child communication perspective. The purpose of this discussion is to explore the variety of communication with the value of the akhlāqī sufistic message between parents and children who are the object of discussion. The objects of this research are the Prophet Ibrāhīm and Ismā’il, Luqmān al-Ḥakīm and his son, Ya’qūb, Yūsuf and his brothers, Nūḥ and Kan’an. The importance of revealing the side of Sufism, many Sufis interpret the Qur’an far beyond the reading of verses in an ancient way. Laṭāif al-Ishārāt one of them, this interpretation includes moderate sufistic interpretation which is not only based on the inner meaning esoteric of the verse, but also holds to the meaning of its birth exoteric. The influence of Sufism has impli-cations in interpreting the Qur’an. Thus the Sufistic values that can be taken from the parent and child communication verses can be mapped as follows The value of tawḥid, ṣabar, maḥabbah, murāqabah, raja’, riḍa, and SyarifEtika merupakan salah satu cabang kajian dari falsafah yang mengkaji secara mendalam tentang perilaku baik teori maupun praktek. Para failusuf muslim mengkaji tentang etika ini secara mendalam dengan tetap berpegang pada teks-teks al-Qur’an. Khazanah pengetahuan Islam klasik cukup banyak yang berbicara tentang etika di antaranya Tafsir al-Qur’an, al-Hadis, Falsafah Islam, Tasawuf, Kalam. Etika sebagai sebuah kajian filosofis belum mendapat tempat yang memadai dalam falsafah Islam, karena wacana syari’ah masih mendominasi. Sebagai akibatnya, literatur tentang etika falsafah Islam sangat minim. Pada saat ini, perkembangan pengetahuan dalam berbagai aspeknya, menuntut kesetaraan peran perempuan dengan laki-laki di berbagai bidang kehidupan. Dalam teori gender melihat telah terjadi ketidakadilan, yang menempatkan perempuan dan laki-laki sebagai korban dari sistem tersebut. Dalam pandangan falsafah Islam masalah kesetaraan dan ketidakadilan perlu dilacak pada kajian nilai-nilai etis, baik yang bersumber dari al-Qur’an maupun rasional, sehingga dapat diketahui konsep manusia yang utuh dan adil baik perempuan maupun AndrianSufism is a science that examines the process of beautifying morals in the form of birth and purification of the soul spiritually to achieve happiness in the world and the hereafter. In the context of broader modernism, Sufism is also associated with psychology and other general sciences. This phenomenon illustrates that Sufism can be interpreted comprehensively with various approaches which will then produce various kinds of innovations in the development of knowledge, including education. Sufism can be applied and applied through a character education approach that emphasizes value planting. The dynamics of modern life grow along with human needs that continue to grow. The need that continues to grow will then backfire for humans and their groups if they are not able to be packaged in a useful context. The problems of modern life can be packaged in Sufism scholarship that has been modernized in character education. E. Ova Siti Sofwatul UmmahThis study attempts to describe the practice of tarekat Syadziliyyah in Pesantren Cidahu, Pandegang, Banten which encourages the realization of the piety of its followers, ritually, spiritually, and socially. Based on the qualitative approach, through an in-depth interview to the people who is practicing tarekat, consisting of santri, the servants of the pesantren’, the head of the village, as well as senior students who are considered to have considerable influence because of their religious knowledge and wisdom, the result of this study shows that the tarekat which is developed by Abuya Dimyathi, through practicing istighfar, shalawat ummi, kalimah tauhid, do'a, wasilah and rabithah had a positive impact on the ritual, spiritual, and social piety of the santri of pesantren Cidahu. Increasing the discipline and routine of the santri in carrying out the obligatory and sunnah worship, devotion, calmness, and surrender in carrying out and responding to the various life activities became its real pieces of evidence. Ahmad MunjiGenerally in the teachings of any religion, both divine religions such as Islam, Christianity and Judaism, or earth religions such as Hinduism, Buddhism there is a polarization between religion and economic activity. So that all activities which seeking riches is viewed negatively and not in accordance with the lofty ideals of spirituality. In the teachings of Islamic religion there is also tendency that sees economic activity as an activity that is in appropriate for a religious. By using content analysis, the studies illustrate that everyone can make his profession as a path to God. Provided that each profession held by Islamic guidance, according to the Qur'an and the Hadith. Abstrak Dalam ajaran keagamaan secara umum, baik agama-agama samawi seperti Islam, Kristen dan Yahudi, maupun agama bumi seperti Hindu, Buddha dan lain sebagainya terdapat anti-nomi antara agama dan kegiatan ekonomi. Sehingga seluruh kegiatan yang mencari kekayaan dipandang negatif dan tidak sesuai dengan cita-cita luhur spiritualitas. Dalam ajaran Agama Islam juga terdapat tendensi yang cukup kuat yang memandang kegiatan ekonomi sebagai aktifitas yang tidak pantas bagi manusia yang taat beragama. Dengan menggunakan analisis isi content analysis, setudi ini menggambarkan bahwa, setiap orang bisa menjadikan profesinya sebagi jalan menuju kepada Allah. Asalkan setiap apa yang menjadi aktifitas keseharianya dilaksanakan berdasarkan tuntunan Islam, sesuai dengan al-Qur’an dan hadis Nabi Muhammad. Keywords profesi, wirid, al-Quran, hadis, NasuhiArtikel ini akan mengungkapkan dinamika yang terjadi pada dunia tasawuf dan tarekat di Indonesia pada abad ke-19. Oleh Clifford Geertz, abad ke-19 ini disebut sebaga abad universalisasi Islam di Indonesia. Fenomena yang tampak menonjol pada abad ini adalah maraknya berbagai pergolakan pada hampir seluruh lapisan sosial untuk menentang penetrasi kolonial Belanda; dan pada satu seginya, pergolakan-pergolakan tersebut mengindikasikan adanya kebangkitan agama Islam. M. Arif KhoiruddinKehidupan masyarakat saat ini nampak tumbuh dan berkembang sifat-sifat materialistik dan hedonisme, gejala ini ditandai dengan menjadikan materi sebagai tolak ukur untuk mencapai kesuksesan dan kebahagian. Masyarakat berlomba-lomba mencari dan mendapatkan materi sebanyak-banyaknya. Dorongan seperti ini berdampak kecenderungan masyarakat bertindak tanpa kontrol demi mendapatkan apa yang diinginkan dengan menghalalkan segala cara tanpa memperdulikan sesama, hilangnya kepedulian sosial, kecenderungan individualistis, materialistis, kapitalis dan hedonis. Tasawuf dalam kehidupan sosial mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menuntaskan permasalahan dan penyakit sosial yang ada, amalan yang terdapat dalam ajaran tasawuf akan membimbing seseorang dalam mengarungi kehidupan dunia menjadi manusia yang arif, bijaksana dan profesional dalam kehidupan bermasyarakat dan memberikan nilai-nilai spiritual dan sosial yang jelas. Bentuk ajaran yang ditawarkan untuk membersikan jiwa dan penyakit sosial tersebut dalam ajaran tasawuf dapat dilakukan dengan melalui tiga tahapan yaitu Takhalli membersihkan diri dari sifat-sifat tercela, dari maksiat lahir dan maksiat batin yang mengotori hati manusia seperti iri dan dengki, buruk sangka, sombong, membanggakan diri, pamer, pemarah dan sifat-sifat tercelah yang lain. Tahalli mensucikan atau menghiasi diri dengan sifat-sifat terpuji, dengan ta’at lahir dan taat batin. Tajalli terungkapnya nur ghaib untuk Aqil Siradjp>Abstrak Perkembangan dunia kontemporer memperlihatkan kecemasan global umat manusia. Dengan kemampuan ilmu pengetahuan dan teknologi, tidak jarang manusia Modern melakukan hal-hal yang membahayakan kemanusiaan secara umum. Islam, dengan pandangan batiniahnya, menempatkan manusia sebagai makhluk Ilahiyah yang memiliki fungsi menjelmakan cahaya Ketuhanan di dalam kehidupan. Tulisan ini berusaha memperlihatkan bahwa pembumian ajaran-ajaran sufistik merupakan langkah signifikan dalam mengarahkan tatanan kehidupan dunia yang ramah, anggun dan penuh rahmat bagi sekalian alam. Penulis menyimpulkan bahwa bertasawuf pada hakikatnya adalah aktivitas berupa kesadaran manusia yang paling dalam tentang hubungan manusia dengan Tuhan, lingkungan dan sesamanya, yang terilhami oleh kualitas asmâ dan shifat Allah dan kemudian terwujud dalam perilaku sosialnya. Abstract Developing Social Order through the Morality of the Application of Tasawuf Teachings. The rapid development of contemporary world results in global anxiety of humankind. With the prosperity of scince and technology, modern man has often performed actions that are against humanity in general. Islam with its esoteric perspective places man as godly creature functioning to existentiate the light of the Divine in life. In this writing is it is attempted to show that the application of sufistic teachings is a significant step in directing a friendly and peaceful life of the world order, merciful of God necessary for the whole creatures. The author concludes that in reality, applying tasawuf is an activity that reflect man’s deep consciousness of his relationship with God, the environment and his fellow man inspired by the quality of the names and character of God which are then persevered in the social activities. Kata Kunci tasawuf,irfani, moralitas,dzawq The purpose of this study serve to identify the influence analysis emotional intelligence and spiritual intelligence on performance employees study at the PT. Bank Negara Indonesia, Persero, Tbk Daerah Khusus Ibukota Jakarta and Surakarta Operation. This study is a descriptive empirical study with a quantitative approach. The type of data used is primary data and secondary data. The population in this study is the teller PT. Bank Negara Indonesia, Persero, Tbk Daerah Khusus Ibukota Jakarta and Surakarta operation number n 146 with sensus technique. Instrument research using emotional intelligence questionnaires EQ, spiritual intelligence questionnaires SQ, and performane questionnaires. Data analysis includes validity test, reliability test, the classical assumption test, and test hypotheses with linear regression as a tool of analysis using SPSS 17 for windows. Based on the discussion of the results of this study be concluded that emotional intelligence and spiritual intelligence affect the performance of the employees of PT. Bank Negara Indonesia, Persero, Tbk Daerah Khusus Ibukota Jakarta and Surakarta operation.

hakikat jodoh menurut tasawuf